Waspadai Mikotoksin pada Pakan Ikan
Banyak pelaku industri perikanan tidak terlalu fokus terhadap bahaya mikotoksin
Mikotoksin kian menjadi buah bibir di kalangan dunia perikanan. Meskipun efeknya pada ikan dan udang belum dipelajari secara meluas layaknya di sektor peternakan, tetapi jamur tersebut terbukti berdampak negatif pada perkembangan industri perikanan. Setidaknya itulah pendapat pakar akuakultur dari Biomin Singapura, Pedro Encarnacao.
”Saat ini tren penggunaan sumber protein nabati terus meningkat karena mahalnya sumber protein hewani seperti tepung ikan. Ini akan membuat risiko mikotoksin pada pakan ikan dan udang turut meningkat. Ditambah lagi dengan terjadinya perubahan cuaca yang menyebabkan kontaminasi jamur pada bahan baku pakan semakin tinggi,” jelas Pedro.
Senada dengan itu, Technical Sales Manager Aquaculture PT Alltech Biotechnology Indonesia, Fajar Sutriandhi mengatakan, kontaminasi mikotoksin kerap ditemukan pada bahan baku pakan dan pakan jadi. Celakanya, tidak ada batas toleransi aman dari berbagai jenis mikotoksin itu.
Bahaya Aflatoxin
Untuk jenis mikotoksin yang mengancam komoditas perikanan, Fajar menyebutkan antara lain Aflatoxin, Zearalenone, Deoxynivalenol (DON), Fumonisin, T-2 toxin, dan Ochratoxin. Jenis-jenis tersebut berpotensi menurunkan tingkat pertumbuhan serta status kesehatan ikan dan udang.
Terkait beberapa jenis mikotoksin itu, Pedro menginformasikan, berdasarkan survei mikotoksin oleh tim Biomin di wilayah Asia Tenggara pada bahan baku pakan, Aflatoxin adalah salah satu mikotoksin yang paling banyak ditemukan. Selain itu juga ada Fumonisin, mikotoksin yang dihasilkan oleh jamur Fusarium.
Lanjut Pedro, Aflatoxin adalah salah satu mikotoksin yang paling beracun, terutama Aflatoxin B1 (AFB1). Urainya, insang pucat, darah membeku, anemia, pertumbuhan terhambat dan bobot badan rendah merupakan gejala klinis dari jenis mikotoksin yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus ini. ”AFB1 sangat beracun karena bersifat karsinogenik (memicu kanker) dan immunosupresif (menekan sistem kekebalan tubuh),” tukasnya.
Ikan air tawar seperti jenis catfish (lele dan patin), nila, serta udang sangat sensitif terhadap AFB1, sebut Pedro. Dari hasil penelitian Jantrarotai dan Lovell pada 1990, catfish yang diberi pakan dengan kandungan 10 ppm AFB1 per kg ransum selama 10 minggu bisa menurunkan laju pertumbuhan dan mengakibatkan internal lesi (luka).
Lalu pada nila, 100 ppm AFB1 bisa menyebabkan penurunan bobot badan dan nekrosis pada hati (Tuan et al., 2002), dan bila konsentrasinya dinaikkan jadi 200 ppb, tingkat kematiannya sebesar 17 % (El-Banna et al., 1992). Sedangkan pada udang (vannamei dan windu), AFB1 mengakibatkan beberapa abnormalitas seperti laju pertumbuhan rendah, tingkat pencernaan rendah, kelainan fisiologis, dan perubahan histopatologi terutama pada jaringan hepatopankreas.
Strategi Atasi Mikotoksin
Mikotoksin selalu terkait kondisi penyimpanan. Kata Fajar, penyimpanan bahan baku pakan dan pakan jadi yang sesuai dengan Good Management Practices (GMP) merupakan sebuah keharusan. ”Idealnya bahan baku dan pakan tersebut disimpan di tempat yang kering dengan kadar air kurang dari 10 % dan temperatur sekitar 260Celcius,” terangnya.
Selain itu Fajar juga menyarankan untuk menggunakan mycotoxins adsorbent (pengikat mikotoksin). Beberapa pengikat mikotoksin yang umum digunakan adalah clay seperti alumino-silikat dan zeolit, serat tanaman alfalfa, enzim, suplementasi vitamin C atau α-tocopherol dan polymeric glucomannan.
Tambah Pedro, untuk mendeaktivasi jenis mikotoksin yang tidak bisa diikat seperti Ochratoxin, Zearalenone dan kelompok Trichothecenes, bisa menggunakan aplikasi biotransformasi. ”Aplikasi ini menggunakan mikroorganisme atau enzim spesifik untuk mendegradasi struktur racun menjadi metabolit yang tak beracun,” jelasnya.
Artikel selengkapnya baca majalah Trobos edisi Mei 2011
0 komentar:
Posting Komentar